Bagikian Artikel ini

Sabtu, 01 Januari 2011

STADION GELORA BUNG KARNO, BUKAN GELORA NURDIN HALID

Stadion Gelora Bung Karno


Selama Piala AFF 2010, PSSI dan Nurdin Halid telah melakukan dua hal yang tidak patut yang membuat ke duanya layak didakwa telah menodai keluhungan Stadion Utama Gelora Bung Karno.

Pertama, PSSI dan Nurdin Halid telah membatasi stadion sebagai cagar alam kebebasan bersuara para suporter. Nurdin dan antek-anteknya memasang spanduk-spanduk yang menguntungkan dirinya sendiri.

Nurdin boleh saja berkilah bukan dia yang memasangnya. Tapi fakta bahwa spanduk-spanduk itu sudah terpasangjauh sebelum suporter berdatangan tak bisa membuatnya mengelak. Tentu saja kita bisa katakan bahwa PSSI dan seorang Nurdin pun boleh dan berhak bersuara. Hanya saja, jika demikian argumennya, maka PSSI dan Nurdin juga tak punya secuil pun hak untuk memberangus spanduk dan poster-poster yang mengkritik dan menghujatnya. Itu baru adil.

Tapi keadilan itu tidak terjadi. PSSI dan Nurdin dengan sewenang-wenang melarang para suporter dan pemuja sepakbola membawa spanduknya sendiri ke dalam stadion. Tas digeledah di pintu masuk Stadion (bukan untuk menyita benda-benda berbahaya seperti pisau, mercon, misalnya) tapi justru untuk menyita spanduk-spanduk, apa pun isi dan bunyi spanduknya.

Jika pun dalam Stadion Gelora Bung Karno akhirnya masih terpasang spanduk-spanduk, spanduk itu masuk karena kerja keras para suporter untuk mengakali aparat-aparat yang sudah diset up untuk menjaga ketunggalan suara (monophone) dan memberangus keragaman suara (polifhone).

Harus bertarung urat syaraf dengan orang orang berkaos merah berlengan hitam (yang masuk ke stadion tanpa tiket) sepanjang 80 menit agar bisa memasang spanduk dalam laga tim nasional melawan Laos. Itu pun tidak bertahan lama, hanya sekitar 58 menit. Orang orang dengan handy-talkie di tangan segera memberangus spanduk itu.

Jika Presiden saja bisa membiarkan dirinya dikritik dan dihujat, kenapa PSSI dan Nurdin Halid merasa harus diistimewakan ? Orang mungkin berpikir bahwa sweeping hanya berlaku untuk spanduk yang mengkritik PSSI dan Nurdin Halid. Ternyata salah, spanduk yang mendukung nama seorang pemain di tribun selatan atas, dalam laga versus Thailand kemarin, dipaksa untuk diturunkan oleh preman-preman yang dikerahkan. Hanya karena kekompakan suporter di tribun selatan sajalah preman-preman itu akhirnya “mengalah” dan membiarkannya.

PSSI dan Nurdin Halid hanya mengizinkan spandukspanduk yang mereka buat sendiri. Spanduk-spanduk dengan cetakan yang bagus, dengan font yang rapi, dengan kalimat kalimat yang formal layaknya seorang siswa sedang belajar SPOK (subyek, predikat, obyek, keterangan).

Apa yang terjadi ? Stadion Gelora Bung Karno, kehilangan sejumlah hal yang paling alamiah. Alih-alih membakar semangat, spanduk-spanduk PSSI itu malah membuat secara visual stadion terasa begitu formal dan kaku. Terasa benar sebentuk keteraturan yang dipaksakan, bukan gelora yang membuncah secara alamiah.

Bagusnya suporter Indonesia tak henti-hentinya bernyanyi lagu yang membuat stadion Gelora Bung Karno bisa tetap terjaga auranya yang magis.

Pertanyaannya: adakah federasi sepakbola di dunia ini yang hanya mengizinkan stadion diisi oleh spanduk yang dibuat oleh federasi sepakbola sendiri ? Hanya PSSI yang bisa begitu, Kawan!

Kedua, PSSI dan Nurdin Halid terbukti “mengotori” keluhungan Stadion Gelora Bung Karno dengan memasukkan suporter bayaran dan preman-preman bayaran. PSSI dan Nurdin boleh berkilah, tapi perilaku orang-orang itu tak bisa membuat mereka menyangkal.

Sebelum laga, mereka berkumpul di depan Kantor PSSI, dengan kaos merah berlengan hitam, lalu sebagian dari mereka mengawal Nurdin Halid masuk ke stadion (tentu tanpa tiket), sebagian lagi menyebar ke semua sektor, menjaga spanduk-spanduk bikinan PSSI dan Nurdin Halid, dan saat jeda masing-masing mendapat jatah nasi bungkus.

Dalam laga melawan Thailand, orang-orang berbadan kekar berkeliaran di tribun selatan atas, memaksa beberapa spanduk yang dibawa suporter untuk diturunkan. Harian TopSkor (6 Desember 2010, hal. 14) melaporkan bahwa mereka disuplai oleh seseorang yang mereka panggil Pak Yapto Suryo Sumarno, dengan upah 60 ribu rupiah, berikut kaos, jatah nasi bungkus dan tiket cuma-cuma.

Dengan mengizinkan suporter bayaran dan preman-preman bayaran itu masuk ke stadion, PSSI dan Nurdin Halid justru telah memperlakukan laga tim nasional tak ubahnya sebagai sebuah kampanye partai politik. Dengan itu, PSSI dan Nurdin Halid telah memperlakukan laga tim nasional sebagai miliknya, bukan perayaan kolektif para pemuja sepakbola dan pendukung tim nasional Indonesia.

Tanpa suporter bayaran pun Stadion Gelora Bung Karno akan sesak dengan para suporter yang tak akan lelah-lelahnya bernyanyi untuk Firman Utina, Christian Gonzales, dkk. Menyelundupkan suporter bayaran sama saja meragukan kecintaan publik sepakbola Indonesia pada tim nasional Indonesia.

Ingat, ini tim nasional Indonesia, bukan tim PSSI. Catat juga : Stadion Utama Gelora Bung Karno adalah milik bangsa Indonesia, dan jelas-jelas bukan milik PSSI atau seorang Nurdin Halid. Saya (juga para pemuja sepakbola yang lain) selalu dan akan selalu datang ke Senayan untuk tim nasional, tapi jelas bukan demi PSSI apalagi seorang Nurdin Halid.
 


sumber : http://aremakita.blogspot.com/2010/12/stadion-gelora-bung-karno-bukan-gelora.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blog Archive